Kamis, 28 Mei 2009

TNI Butuh Anggaran yang Layak!!!

"Tempalah besi selagi panas", peribahasa ini sangat cocok untuk menggambarkan betapa mendesaknya kebutuhan TNI akan anggaran yang layak.

Saya sependapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (tanpa bermaksud kampanye) yang secara jujur mengakui bahwa keterbatasan anggaran adalah salah satu faktor yang menyebabkan jatuhnya Hercules (hal yang langsung dibantah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). TNI minta anggaran Rp 127 triliun (minimum essential requirement*) , tetapi yang disetujui Pemerintah dan DPR hanya Rp 33,6 triliun, dan dari jumlah itu lebih dari 60 persen habis untuk gaji dan biaya rutin. Jelas hal ini sangat berisiko untuk kegiatan perawatan pesawat-pesawat terbang TNI yang umurnya rata-rata di atas 30 tahun. Sebagai bangsa sesungguhnya kita patut merasa miris dan malu bila mendapati bagaimana para komandan di TNI harus menggerakkan kegiatan unit-unit mereka, yang pada umumnya tidak dibekali dengan dukungan logistik yang memadai oleh Pemerintah. Bisa jadi hanya karena semangat juang yang tinggi, dengan atau tanpa dukungan logistik yang memadai, para prajurit kita tetap menjalankan tugasnya. Kita tahu dengan kondisi yang seperti itu sangat sulit mengharapkan hasil seperti yang diharapkan, karena jelas mereka harus bertugas dalam kondisi yang jauh dari kecukupan prajurit dan satuan tempur yang profesional.

Misalnya, Pusat Latihan Tempur TNI AD di Baturaja, Sumatera Selatan, yang luasnya 430.000 hektare dan membentang di wilayah yang panjangnya hingga 40 kilometer, kini lebih sering sepinya ketimbang diramaikan oleh salak senapan, dentuman meriam, atau derak roda tank, karena ketiadaan biaya untuk menggerakkan pasukan sampai satu batalyon, dengan dukungan tank, artileri dan bantuan tempurnya untuk berlatih di tempat itu. Walhasil, sulit mengharapkan gerak pasukan yang sinkron bila tidak pernah berlatih bertempur.

Atau, para pencuri ikan tak gentar beroperasi di wilayah perairan kita karena mereka tahu jumlah bahan bakar yang ada di kapal-kapal perang TNI AL, yang tidak memungkinkan berbagai KRI itu mengejar kapal-kapal pencuri ikan. Juga kemampuan TNI AU yang terus menyusut karena pesawat-pesawat semakin tua dan jumlahnya terus berkurang.

Insiden-insiden kecil seperti yang terjadi di Kompi A, Batalyon 751 di Sentani, Kabupaten Jayapura, beberapa waktu lalu hanyalah letupan-letupan kecil yang mengemuka terkait dengan keterbatasan anggaran pertahanan ini. Kebetulan saja pers di kawasan ini sangat sensitif dan hal-hal seperti ini cepat menjadi besar dan mendapat perhatian secara nasional. Mudah-mudahan, itu bukanlah cermin situasi yang terjadi di berbagai batalyon TNI, khususnya yang ada di luar Jawa dan daerah-daerah terpencil.

Kalau itu yang terjadi, makin terpuruklah postur pertahanan kita, karena senjata tua dan tidak andal, sementara para prajuritnya juga mulai merosot moralnya karena persoalan kesejahteraan yang parah pula. Padahal, selama ini faktor penggentar bagi negara-negara tetangga kita, terutama Malaysia, adalah citra prajurit TNI yang pantang menyerah dan daya juangnya tinggi, meski tidak didukung logistik memadai.

Sebagai perbandingan saja, negara tetangga kita Sri Lanka mampu memadamkan pemberontakan kelompok separatis Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) hanya setelah Presiden Mahinda Rajapaksa memberi persenjataan yang memadai bagi militernya untuk menumpas kaum separatis itu. Padahal, selama lebih dua dekade kelompok separatis ini tidak bisa ditumpas.

Jadi, apa lagi yang tersisa dari TNI kita? Jika alutsista sudah tua dan hanya punya kemampuan 30 persen, sementara moral prajurit (mungkin) semakin merosot, apakah masih ada faktor penggentar di negeri ini? Lalu, siapa lagi yang akan mengawal negeri dengan 17.000 pulau dan berpenduduk 230 juta ini? Maka berilah TNI anggaran yang layak supaya mereka pantas disebut prajurit pejuang yang profesional. Mengingat SBY adalah sosok presiden yang berasal dari latar belakang militer, lalu kenapa hal penting seperti ini kurang diperhatikan?



referensi: sinarharapan.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar